Cak Nun: Al-Qur’an Telah Ada Sebelum Nabi Muhammad


Budayawan dan Intelektual Muslim Emha Ainun Najib kembali mengajak diskusi sejumlah peserta yang menghadiri acara “Nuzulul Qur’an di Hatimu” di Yogyakarta, Sabtu (25/6). Dalam sesi diskusi itu, pria yang akrab disapa Cak Nun ini mengajukan pertanyaan seperti sejak kapan Al- Qur’an itu ada? Apakah Nabi Adam, Musa, atau Isa telah mengetahui Al-Qur’an ataukah belum?

Cak Nun lalu menjelaskan asal-usul penciptaan alam semesta, soal ‘Nur Muhammad’, hingga soal turunnya kitab suci kepada sejumlah Nabi. “Begitu Allah menciptakan sesuatu, pasti mindset ciptaanNya adalah Qur’any,” katanya di depan hadirin “Nuzulul Qur’an” yang memadati halaman parkir Jogja Expo Centre.

Nabi Muhammad, kata penulis “Surat Kepada Kanjeng Nabi” ini, ialah sosok yang sejarah mengenalnya pernah hidup di dunia selama 63 tahun. Beliau terlahir dari rahim seorang ibu bernama Siti Aminah, istri Abdullah bin Abdul Muthalib. Adapun Nur Muhammad, menurutnya, telah diciptakan oleh Allah sebelum malaikat, bahkan sebelum seluruh jagad raya ini ada. “Ketika Nur Muhammad diciptakan disitulah Al-Qur’an ‘included’ (termasuk).”

Karena Allah cinta pada cahaya itu, maka Allah menciptakan yang lainnya, katanya sambil mengutip sebuah hadist tentang cahaya yang terpuji itu.

Berdasar teori ‘Nur Muhammad’, jika ayat ‘Iqra’ bukan momentum lahirnya eksistensi Al-Qur’an, berarti ia merupakan momentum ‘aplikasi’ Al-Qur’an.  Jika demikian, Al-Qur’an sebagai “programming” telah ada sebelum aplikasi itu turun. Hanya saja, sebagaimana air mendidih jika mencapai derajat panas tertentu, Al-Qur’an – sebagai puncak kesempurnaan kitab-kitab sebelumnya – diturunkan ketika kondisi kesiapan (umat manusia) terpenuhi.

Cak Nun kembali menegaskan bahwa Al-Qur’an sejatinya itu nilai, tidak bisa dilihat secara kasat mata. Apa yang berupa lembaran dan terjilid di rumah masing-masing itu adalah mushaf.

Untuk memahaminya lebih mudah, Cak Nun menawarkan cara pandang bahwa Al-Qur’an itu memiliki tiga dimensi. Dimensi pertama ialah teks atau mushaf yang secara umum Muslimin baca dan simpan di rumah masing-masing. Kedua ialah esensi atua substansi yang berupa ajaran Al-Qur’an itu sendiri. Ketiga, dimensi kontekstual, penerapan atau aplikasinya.

Jika Nuzulul Al-Qur’an hanya dikaitkan dengan ayat “Iqra”, siapapun bisa mempelajarinya dengan mudah dari sejarahnya dan penjelasannya di berbagai kitab.  “Tapi kapan Al-Qur’an itu turun di dalam hatimu? Apakah Anda telah menyadarinya? Mungkin saja hanya sampai di mata, lidah dan telinga tapi tidak di hati.”

Sambil mengutip sebuah riwayat, Cak Nun memberi contoh bagaimana nilai-nilai Al-Qur’an termanifestasi dalam setiap gerak-gerik akhlak Rasulullah. Sedemikian, sehingga Nabi Muhammad disebut Al-Qur’an berjalan. Jika Rasulullah itu merupakan Al-Qur’an berjalan, bagaimana dengan posisi Al-Qur’an pada diri kita masing-masing? tanyanya mengajak hadirin intropeksi diri. Sejatinya, menurut Cak Nun, nilai-nilai Al-Qur’an telah ada dalam diri manusia masing-masing bahkan seluruh alam semesta ini bermuatan firman-Nya.

“Masalahnya, Anda menggalinya ataukah tidak?”

Kirim komentar