Meng-akur-kan Menantu dan Mertua

Meng-akur-kan Menantu dan Mertua

Alkisah, seorang perempuan muda yang datang kepada seorang hakim adil, dan berniat melaporkan masalahnya. Ketika perempuan itu masuk dan berhadapan dengan sang hakim, dia tertunduk lesu dan meneteskan air mata.

"Wahai perempuan muda, mengapa begitu sedih, apa masalahmu?" tanya hakim.

Perempuan itu berusaha mengangkat wajahnya dan mencoba menghentikan isakannya. Namun, bibirnya bergetar hingga sulit untuk mengeluarkan kata-kata. Tak kuasa dengan perasaan sedih di dadanya, dia semakin terisak.

Sang hakim memilih menunggu beberapa saat, lalu bertanya lagi. "Wahai perempuan muda, apa yang hendak kau katakan atas masalahmu?"

Akhirnya perempuan muda itu menjawab dengan terbata-bata. "Wahai hakim yang adil, aku tidak tahu perbuatan ini benar atau tidak? Bahwa aku ingin mengadukan sikap ibu mertuaku, tanpa sepengetahuan suamiku. Ketika aku menikah aku bermimpi dapat memulai lembaran hidup baruku dengan bahagia. Tapi ibu mertuaku selalu dingin, bahkan apa-apa urusan atas rumah tanggaku dia campuri, hingga aku kerap berselisih paham dengan suami."

Dia kembali terisak.

Hakim menghela napas dan bertanya, " Apakah selama ini engkau menunjukkan sikap yang lembut padanya?"

Perempuan itu terdiam sejenak. "Sesungguhnya saya ingin bersikap seperti itu, tapi saya tak kuasa dengan rasa kesal saya terhadap ibu mertua saya. Apa-apa yang saya kerjakan menurutnya salah, dan salah semua .... saya rasa dia begitu membenci saya."

"Lalu apa yang kamu inginkan sekarang?"

"Saya hanya ingin dia berlepas tangan dari urusan rumah tangga saya".

Hakim berpikir sejenak. "Baiklah, hanya ada satu cara: beri dia obat ini." Dia mengeluarkan bungkusan seperti bungkusan jamu dan menyodorkan ke perempuan itu.

Yang mengadu bingung. "Hakim, apa ini? Mengapa saya harus memberi mertua saya obat? Dia sehat-sehat saja dan tidak sakit."

Hakim tersenyum dan berkata, "Ini adalah racun."

"Racun?! Anda ingin saya meracuni mertua saya? Bagaimana mungkin? Tentu suami saya akan langsung mengusir saya bahkan mungkin lebih dari itu. Apa tidak ada cara lain?"

Hakim melanjutkan penjelasannya. "Tidak ada cara lain. Dan tenanglah karena racun ini tidak langsung membunuh ibu mertua Anda, tapi membutuhkan kurun waktu yang cukup lama dan. Taruhlah racun ini dalam makanan ibu mertua Anda. Dan tidak perlu khawatir orang lain akan mengetahui hal ini, bahkan suami Anda -- kecuali Anda tidak dapat menyimpan rahasia ini. Satu syarat yang saya ajukan, bahwa jika Anda ingin melakukan hal ini, mulai hari ini ubahlah sikap Anda, berbaik-baiklah pada ibu mertua Anda, dengan menunjukkan sikap santun, sayang, sabar dengan apa yang dia lakukan dan seringlah buatkan makanan untuknya; supaya rencana ini sempurna dan berjalan mulus, hingga tidak mengundang kecurigaan."

Perempuan itu menerima penjelasan hakim dan bergegas pulang.

Hari itu juga dia mulai memperlihatkan perubahan sikap. Dari yang sering merasa kesal jadi sabar, benci jadi sayang. Dia juga mulai sering membuat dan menghantarkan makanan kepada ibu mertuanya, meski berpura-pura.

Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan dan tak terasa tahun berganti. Tapi si ibu mertua masih terlihat sehat dan bugar, tak menunjukkan tanda-tanda aneh yang mengalamatkan pada sakit atau kematian. Bahkan kini ibu mertuanya, berubah sikap 180 derajat menjadi sangat sayang pada menantunya.

Dalam hati, sang menantu jadi ragu, dan menyesal dengan tindakannya meracuni ibu mertuanya. "Oh, andai aku tahu engkau bakal menyayangiku seperti ini, aku tidak akan meracunimu dari awal. Tapi sekarang semuanya sudah terlanjur dan mungkin, engkau akan mati tidak lama lagi," katanya berguman.

Keesokan hari perempuan itu menemui hakim dan menjelaskan niatnya untuk mengurungkan rencana. Dan meminta obat penawar agar ibu mertuanya terselamatkan dari kematian. Tapi hakim malah tersenyum, dan menjelaskan bahwa racun yang dulu ia berikan sesungguhnya bukanlah racun. Itu hanya serbuk biasa yang tidak ada pengaruh apa-apa pada makanan, katanya.

* * *
Acap kali kita dengar, keretakan suatu rumah tangga lantaran campur tangan ibu mertua terhadap keluarga anaknya. Semua berangkat dari kekhawatiran sang ibu dan rasa ingin membimbing menantu agar bisa menjadi istri yang mumpuni. Tapi niat baik tidak selalu berujung kegembiraan.

Kalangan ahli kerpa bilang ada dua akar ketidakharmonisan antara ibu mertua dan menantu. Pertama, besarnya ego dari ibu mertua atau menantu. Masing-masing merasa memiliki rasa bangga diri dengan budaya, gaya hidup, dan cara-cara untuk melakukan sesuatu sesuai pengetahuan masing-masing. Si ibu merasa tidak cocok dengan hal-hal yang dilakukan menantu karena itu tidak ada dalam pengetahuannya, atau salah menurut pengetahuannya dan sebaliknya.

Kedua, masing-masing pihak tidak memiliki keluasan hati. Baik ibu mertua dan menantu tidak mau memahami budaya dan pengetahuan masing-masing.

Alangkah indahnya jika ibu mertua dan menantu bisa menyadari bahwa masing-masing dari diri mereka memiliki latar belakang berbeda; baik pengetahuan, budaya, gaya hidup yang mereka dapat dari keluarga dan lingkungan mereka. Hingga rasa ke-aku-an bisa diminimalisir dan hati seluas samudra dimiliki salah satu pihak atau syukur-syukur keduanya. Tapi, jika Anda sebagai menantu perempuan, yang merasa punya pendidikan dan pengetahuan lebih baik, sebaiknya Anda yang harus berusaha sadar untuk memiliki keluasan hati.[tvshia/islamindonesia]

Kirim komentar